Seperti biasa setiap pulang sekolah, Putri akan mampir di panti jompo Ibu Bahagia. Ada saja yang dia bawa untuk diberikan kepada lima nenek penghuni panti jompo sebagai oleh-oleh. Kadang seikat bunga liar yang tumbuh di sepanjang dua kilo meter perjalanannya menuju panti. Pernah juga seonggok daun kering, sebuah mangga yang hampir busuk karena dimakan kalong, seekor burung yang tengah terluka, beberapa butir permen, dan lain-lain.
Siang
ini, gadis kecil berusia sepuluh tahun yang selalu tersenyum itu tak membawa
apa-apa di tangannya.Putri kini duduk di taman belakang dikelilingi para fans
setia. Dari mulutnya keluar cerita seru tentang kejadian di sekolah hari ini.
Putri
pandai sekali merangkai cerita sehingga
para nenek itu terpingkal-pingkal dibuatnya. Kadang dia berdiri, lalu tubuhnya
memperagakan gerak seorang guru yang sedang marah-marah, temannya yang sedang
ketakutan, juga tingkah konyol teman-teman lainnya.
Itulah
Putri, gadis kecil yang kutemui sebulan yang lalu saat menepi di teras panti
karena hujan deras. Kutawarkan dia masuk dan selembar handuk. Matanya langsung
berbinar ketika melihat lima nenek penghuni panti ini tengah duduk bersama
menikmati rinai hujan dari teras belakang. Dia langsung menyapa dan bertanya
banyak hal. Mereka pun langsung akrab seolah teman yang lama tidak bersua.
Bahkan ketika dia pamit pulang, nenek-nenek itu memintanya untuk sering datang
kemari.
Putri
lalu meminta ijin dariku untuk sering-sering mampir disini. Tentu saja aku
ijinkan. Entah mengapa aku pun langsung jatuh hati pada gadis itu. Gadis polos
yang murah senyum, ramah, ceria, juga penuh semangat.
Sejak
saat itu, setiap hari setelah pulang sekolah dia akan singgah disini. Tidak
lama, hanya sekitar sepuluh menit. Selain untuk beristirahat, juga untuk
menemui penghuni panti. Putri telah membawa warna baru untuk kehidupan kami disini.
Kami selalu merindui kedatangannya. Jika hari minggu, nenek-nenek itu selalu
menanyakannya. Maka, aku yang akan sibuk mengarang cerita agar mereka lupa.
Awalnya terasa sangat kaku. Namun, lama-lama aku bisa menirukan Putri bercerita.
Walau tetap saja, aku tak selucu Putri saat bercerita, kata mereka.
“Kakak
aku pulang, ya,” pamitnya setelah selesai bercerita.
“Yakin
nih, enggak mau makan dulu?” tanyaku seperti biasa. Tapi jawabannya sudah bisa
ditebak. Dia tidak pernah mau menerima pemberian kami dalam bentuk apapun,
kecuali segelas air putih.
“Aku
buru-buru, Kakak.” Putri meraih tanganku, lalu menciumnya.
“Hati-hati,
Sayang.” Kuelus ubun-ubunya lalu menciumnya.
Dia
bergegas berlari melanjutkan dua kilo lagi perjalanan menuju rumahnya. Hmm...
bukan rumah menurutku. Lebih tepat tempat persinggahannya juga. Karena tujuan
berikutnya adalah sebuah rumah makan milik pamannya. Dimana dia harus bekerja
membantu usaha adik ayahnya itu, hingga larut malam nanti. Rumahnya dulu nun
jauh disana, di seberang pulau.
Kedua
orang tuanya telah tiada sejak dia masih bayi. Dia diasuh neneknya hingga umur
sepuluh tahun. Ya, dua bulan yang lalu sang nenek telah berpulang,
meninggalkannya seorang diri. Itulah
mengapa dia dibawa ke kota ini oleh sang paman. Untuk tetap bertahan hidup dan
sekolah, Putri harus bekerja seperti pegawai rumah makan pamannya yang lain.
Cerita
itu baru kudapat beberapa hari yang lalu. Bukan dari mulut Putri yang selalu
tersenyum bahagia. Dia memang tidak pernah bercerita siapa dirinya dan bagaimana
kesehariannya. Kecuali, cerita tentang sekolah dan kisah-kisah lainya yang
selalu dibawanya sebagai oleh-oleh untuk menghibur kami.
“Kata
Pak Ustad, setiap muslim harus beramal baik selama hidup di dunia. Bersedekah termasuk
beramal baik, kan, Kak? Karena aku belum punya apa-apa sekarang, aku cukup
berbagi senyum saja, Kak. Sedekah yang paling murah,” katanya malu-malu ketika
suatu hari kutanya mengapa dia selalu tersenyum.
“Masyaallah!
Sedekahmu banyak sekali, Sayang. Kakak selalu melihatmu tersenyum, lho!” kataku
takjub.
“Alhamdulillah,
semoga jadi berkah, ya, Kak. Kalau berkah, kan aku akan nambah semangat beribadah
dan beramalnya.”
Speechless
aku mendengar jawabannya. Gadis sekecil ini bisa menyerap arti sedekah
sedemikian dalamnya. Setiap ucapannya selalu saja membuatku terkesima sekaligus
malu. Sementara jalan cerita kehidupan yang kudengar tentangnya, selalu saja
membuatku sesak dan berurai air mata. Namun, sedikitpun tidak kulihat kesedihan
di matanya. Dia justru berusaha memberikan senyum terbaik dan membuat kami
selalu tersenyum bahagia melalui ceritanya.
“Ayah
bundamu pasti bangga, Nak.”
“Insyaallah,
Kak. Aku selalu berusaha membuat mereka bangga, bagaimanapun caranya!” ucapnya
penuh semangat dengan binar mata yang menyala. Mungkin dia sangat yakin, masa
depannya kelak akan secerah senyum yang selalu tersungging dibibir.
comment 0 comments
more_vert