Akhirnya hari itu datang juga. Hari dimana aku harus merelakanmu pergi, kembali ke tempat tugas. Setelah dua bulan lamanya kita diberikan kesempatan berkumpul bersama. Kesempatan langka yang harus kita syukuri.
Seperti
biasa aku membantu menyiapkan segala sesuatu yang kau butuhkan menjelang
keberangkatanmu. Termasuk mempersiapkan segala perasaan dan pikiran yang
berkecamuk tiada henti. Rasa sesak memenuhi rongga dada beberapa hari ini
selalu kucoba tutupi. Dirimu harus pergi dengan tenang, pun kami yang
ditinggalkan disini. Semua harus berjalan seperti yang biasa kita lalui selama
dua tahun ini. Kepergianmu untuk kembali tugas di kota nun jauh diujung negeri
adalah sesuatu yang normal. Banyak keluarga yang mengalami, bahkan mungkin
lebih menyedihkan. Kita harus tetap bersyukur masih bisa berkumpul setidaknya
sebulan sekali. Walau kini belum pasti, kapan kau akan kembali lagi pada kami.
Mengingat keadaan pandemik yang tampaknya belum ada tanda-tanda akan berhenti.
Adzan
subuh belum lama berkumandang. Namun, inilah saatnya kau harus pergi.
“Hati-hati,
ya,” bisikmu sambil melepas pelukanmu.
“Iya.
Aa’ juga.” No drama. Lebih baik tidak
banyak kata. Keempat anak kita sudah menunggu giliran berpamitan denganmu.
Tidak mungkin aku bercucuran air mata di depan mereka, kan? Ini sudah biasa
kita lakukan selama ini sebelum pandemik. Sesuatu yang rutin, tak perlu
berlebihan.
Kau
memeluk anak-anak pasti dengan perasaan sangat berat, terutama pada si bungsu.
Aku bisa merasakannya lewat tatapan dan kata-kata yang kau pesankan pada
mereka. Hanya saja, perpisahan kita harus berjalan singkat dan padat. Sekali
lagi, no drama. Kita sudah
mempersiapkannya, menata hati dengan menjaga emosi. Karena waktu terus saja
bergulir tanpa kompromi. Kau harus segera pergi dengan senyum dan doa terindah dari
kami.
“Ummi
mau tidur lagi, ya. Masih ngantuk, bangun dari jam tiga tadi,” kataku pada
anak-anak begitu mobil yang membawamu sudah beranjak pergi.
Segera kukunci pintu kamar dan tak perlu
menunggu waktu lama tumpah sudah segala yang kupendam. Hanya bantal gulingku
yang mampu menampungnya. Hidup tak mungkin flat
tanpa drama, bukan?
comment 0 comments
more_vert