MASIGNASUKAv102
5205159268100262409

Ketika Kau Harus Pergi

Selasa, 01 September 2020

 

Akhirnya hari itu datang juga. Hari dimana aku harus merelakanmu pergi, kembali ke tempat tugas. Setelah dua bulan lamanya kita diberikan kesempatan berkumpul bersama. Kesempatan langka yang harus kita syukuri.

 

Seperti biasa aku membantu menyiapkan segala sesuatu yang kau butuhkan menjelang keberangkatanmu. Termasuk mempersiapkan segala perasaan dan pikiran yang berkecamuk tiada henti. Rasa sesak memenuhi rongga dada beberapa hari ini selalu kucoba tutupi. Dirimu harus pergi dengan tenang, pun kami yang ditinggalkan disini. Semua harus berjalan seperti yang biasa kita lalui selama dua tahun ini. Kepergianmu untuk kembali tugas di kota nun jauh diujung negeri adalah sesuatu yang normal. Banyak keluarga yang mengalami, bahkan mungkin lebih menyedihkan. Kita harus tetap bersyukur masih bisa berkumpul setidaknya sebulan sekali. Walau kini belum pasti, kapan kau akan kembali lagi pada kami. Mengingat keadaan pandemik yang tampaknya belum ada tanda-tanda akan berhenti.

 

Adzan subuh belum lama berkumandang. Namun, inilah saatnya kau harus pergi.

 

“Hati-hati, ya,” bisikmu sambil melepas pelukanmu.

 

“Iya. Aa’ juga.” No drama. Lebih baik tidak banyak kata. Keempat anak kita sudah menunggu giliran berpamitan denganmu. Tidak mungkin aku bercucuran air mata di depan mereka, kan? Ini sudah biasa kita lakukan selama ini sebelum pandemik. Sesuatu yang rutin, tak perlu berlebihan.

 

Kau memeluk anak-anak pasti dengan perasaan sangat berat, terutama pada si bungsu. Aku bisa merasakannya lewat tatapan dan kata-kata yang kau pesankan pada mereka. Hanya saja, perpisahan kita harus berjalan singkat dan padat. Sekali lagi, no drama. Kita sudah mempersiapkannya, menata hati dengan menjaga emosi. Karena waktu terus saja bergulir tanpa kompromi. Kau harus segera pergi dengan senyum dan doa terindah dari kami.

 

“Ummi mau tidur lagi, ya. Masih ngantuk, bangun dari jam tiga tadi,” kataku pada anak-anak begitu mobil yang membawamu sudah beranjak pergi.

 

 Segera kukunci pintu kamar dan tak perlu menunggu waktu lama tumpah sudah segala yang kupendam. Hanya bantal gulingku yang mampu menampungnya. Hidup tak mungkin flat tanpa drama, bukan?