MASIGNASUKAv102
5205159268100262409

Nangka Manis Mak Ijah

Minggu, 08 Desember 2019

“Berapa kali Mama bilang, jangan beli ke dia lagi. Pasti nggak bagus. Percuma juga, nantinya nggak dimakan!”
“Mana nangka busuk gitu harganya dua puluh lima ribu, kamu bayar aja nggak pake ditawar-tawar dulu!” Omelan mamaku belum berhenti juga dari tadi. Mama memang pemilih dan teliti dalam hal berbelanja terutama belanja bahan makanan. Katanya bahan makanan yang berkualitas akan menghasilkan masakan yang lezat dan sehat.
Setiap Sabtu kami berdua punya rutinitas sarapan di luar, belanja dan masak bersama. Itu caraku meluangkan waktu bersama mama, diantara kesibukanku bekerja dan melayani suami, juga anak-anakku. Kami bisa ngobrol dan saling curhat tentang apa saja. Walau sering kudengar omelannya tentang jeleknya kualitas barang dan harganya yang mahal saat ini, tapi aku banyak belajar darinya tentang bagaimana cara memilih beraneka macam buah, sayuran, ikan, ayam juga daging. Saking detailnya, kadang mama bisa membatalkan pembelian  belanjaan yang sudah dipegang-pegang dan diamati begitu lama. Tentu saja aku tidak begitu,   Dalam beberapa hal menurutku kita tidak bisa begitu ke semua penjual. Termasuk ke Mak Ijah, penjual hasil kebun yang berjualan di seberang pasar di perumahan kami.
Kulihat mama sepertinya akan menyingkiran buah nangka yang kubeli dari Mak Ijah tadi. Dia sibuk mencari tas plastik di lemari dapur. Segera kuambil sepotong nangka yang tergeletak di meja dapur itu. Kuambil buahnya yang masih bagus. Beberapa memang membusuk namun masih banyak yang bagus. Kubuang bijinya dan kucuci.
“Mana nangkanya?” tanya mama.
“Sudah kukupas dan kucuci Mam. Itu lagi dikeroyok ama Dea dan Dion,” tunjukku ke arah dua anakku yang lagi melahap buah kegemaran mereka. Mamaku hanya terdiam dan kemudian sibuk membongkar belanjaan kami yang lain. Aku tersenyum puas. Aku tidak perlu membantah omelannya yang memang selalu ada benarnya itu. Aku hanya cukup mengalihkan perhatiannya saja.
“Ummi, kemaren Sari cerita, dia seneng banget akhirnya bisa ikutan jalan-jalan perpisahan sekolah ke Bogor,” celoteh Dea sambil terus mengunyah nangka.
“Oh, ya? Alhamdulillah,” kataku sambil menyentuh bibirku dengan telunjuk, memberinya kode supaya dia menghabiskan makanan di mulutnya terlebih dahulu saat hendak berbicara. Dia tersenyum menyadari kodeku, dan dia segera mengunyah sisa nangka di mulutnya.
 “Kakak Dea juga seneng kan, Sari bisa ikut?“ tanya mamaku.
“Iya dunk, Nek. Kemarin nggak tega Dea lihatnya. Sedih banget deh, Nek,” Raut wajah Dea tiba-tiba berubah murung. Aku mendekatinya dan mengelus bahunya. Aku tahu apa yang dirasakannya. Kemarin dia juga sedih tiap kali bercerita tentang teman sebangkunya itu.
“Ayo dimakan lagi nangkanya!” ajakku. Dan akupun ikut mengambil sepotong.
“Hmmm…manis dan enak ternyata nangkanya Mak Ijah!” seruku sambil melirik ke mama menunggu reaksinya. Mama hanya melirik sekilas. Kemudian sibuk lagi dengan belanjaannya.
“Ummi, memang ini nangkanya beli di neneknya Sari, ya?” tanya Dea.
“Iya, Cantik,” jawabku sambil mengacungkan jempol.
“Pantas enak!” celetuk Dion yang dari tadi tak berhenti mengunyah nangka.
Dalam sekejap nangka semangkok itu habis. Mama sama sekali tidak mau menyentuhnya. 
Setelah merapikan belanjaan, aku bersantai sebentar di halaman belakang sembari melihat-lihat gawaiku. Kubaca beberapa pesan whatsapp dan kubalas seperlunya. Ada pesan dari Ibu Sri, wali kelasnya Dea.
“Assalamu’alaykum wrwb. Ummi Dea, tadi neneknya Sari datang dengan membawa sayuran, singkong, ubi juga nangka. Katanya, sebagai ucapan terima kasih karena cucu satu-satunya akhirnya bisa ikut perpisahan sekolah di Bandung. Dia mendesak terus siapa yang sudah melunasi tunggakan SPP-nya selama 6 bulan ini dan membayar uang perpisahan sekolahan. Tapi sesuai pesan Ummi, saya tidak cerita apapun kepada siapapun. Katanya titip sampaikan rasa terima kasihnya. Hanya Allah yang akan membalas kebaikan siapapun yang telah menolongnya”. Sesaat aku tercenung. Tersenyum dan tiba-tiba mata ini berkabut.

Bekasi, 17 Juli 2019