“Berapa
kali Mama bilang, jangan beli ke dia lagi. Pasti nggak bagus. Percuma juga,
nantinya nggak dimakan!”
“Mana
nangka busuk gitu harganya dua puluh lima ribu, kamu bayar aja nggak pake
ditawar-tawar dulu!” Omelan mamaku belum berhenti juga dari tadi. Mama memang
pemilih dan teliti dalam hal berbelanja terutama belanja bahan makanan. Katanya
bahan makanan yang berkualitas akan menghasilkan masakan yang lezat dan sehat.
Setiap
Sabtu kami berdua punya rutinitas sarapan di luar, belanja dan masak bersama.
Itu caraku meluangkan waktu bersama mama, diantara kesibukanku bekerja dan
melayani suami, juga anak-anakku. Kami bisa ngobrol dan saling curhat tentang
apa saja. Walau sering kudengar omelannya tentang jeleknya kualitas barang dan
harganya yang mahal saat ini, tapi aku banyak belajar darinya tentang bagaimana
cara memilih beraneka macam buah, sayuran, ikan, ayam juga daging. Saking detailnya,
kadang mama bisa membatalkan pembelian
belanjaan yang sudah dipegang-pegang dan diamati begitu lama. Tentu saja
aku tidak begitu, Dalam beberapa hal
menurutku kita tidak bisa begitu ke semua penjual. Termasuk ke Mak Ijah,
penjual hasil kebun yang berjualan di seberang pasar di perumahan kami.
Kulihat
mama sepertinya akan menyingkiran buah nangka yang kubeli dari Mak Ijah tadi.
Dia sibuk mencari tas plastik di lemari dapur. Segera kuambil sepotong nangka
yang tergeletak di meja dapur itu. Kuambil buahnya yang masih bagus. Beberapa
memang membusuk namun masih banyak yang bagus. Kubuang bijinya dan kucuci.
“Mana
nangkanya?” tanya mama.
“Sudah
kukupas dan kucuci Mam. Itu lagi dikeroyok ama Dea dan Dion,” tunjukku ke arah
dua anakku yang lagi melahap buah kegemaran mereka. Mamaku hanya terdiam dan
kemudian sibuk membongkar belanjaan kami yang lain. Aku tersenyum puas. Aku
tidak perlu membantah omelannya yang memang selalu ada benarnya itu. Aku hanya
cukup mengalihkan perhatiannya saja.
“Ummi,
kemaren Sari cerita, dia seneng banget akhirnya bisa ikutan jalan-jalan
perpisahan sekolah ke Bogor,” celoteh Dea sambil terus mengunyah nangka.
“Oh,
ya? Alhamdulillah,” kataku sambil menyentuh bibirku dengan telunjuk, memberinya
kode supaya dia menghabiskan makanan di mulutnya terlebih dahulu saat hendak
berbicara. Dia tersenyum menyadari kodeku, dan dia segera mengunyah sisa nangka
di mulutnya.
“Kakak Dea juga seneng kan, Sari bisa ikut?“
tanya mamaku.
“Iya
dunk, Nek. Kemarin nggak tega Dea lihatnya. Sedih banget deh, Nek,” Raut wajah
Dea tiba-tiba berubah murung. Aku mendekatinya dan mengelus bahunya. Aku tahu
apa yang dirasakannya. Kemarin dia juga sedih tiap kali bercerita tentang teman
sebangkunya itu.
“Ayo
dimakan lagi nangkanya!” ajakku. Dan akupun ikut mengambil sepotong.
“Hmmm…manis
dan enak ternyata nangkanya Mak Ijah!” seruku sambil melirik ke mama menunggu
reaksinya. Mama hanya melirik sekilas. Kemudian sibuk lagi dengan belanjaannya.
“Ummi,
memang ini nangkanya beli di neneknya Sari, ya?” tanya Dea.
“Iya,
Cantik,” jawabku sambil mengacungkan jempol.
“Pantas
enak!” celetuk Dion yang dari tadi tak berhenti mengunyah nangka.
Dalam
sekejap nangka semangkok itu habis. Mama sama sekali tidak mau
menyentuhnya.
Setelah
merapikan belanjaan, aku bersantai sebentar di halaman belakang sembari
melihat-lihat gawaiku. Kubaca beberapa pesan whatsapp dan kubalas seperlunya.
Ada pesan dari Ibu Sri, wali kelasnya Dea.
“Assalamu’alaykum
wrwb. Ummi Dea, tadi neneknya Sari datang dengan membawa sayuran, singkong, ubi
juga nangka. Katanya, sebagai ucapan terima kasih karena cucu satu-satunya
akhirnya bisa ikut perpisahan sekolah di Bandung. Dia mendesak terus siapa yang
sudah melunasi tunggakan SPP-nya selama 6 bulan ini dan membayar uang
perpisahan sekolahan. Tapi sesuai pesan Ummi, saya tidak cerita apapun kepada
siapapun. Katanya titip sampaikan rasa terima kasihnya. Hanya Allah yang akan membalas
kebaikan siapapun yang telah menolongnya”. Sesaat aku tercenung. Tersenyum dan
tiba-tiba mata ini berkabut.
Bekasi, 17 Juli 2019
comment 0 comments
more_vert